Revitalisasi Bahasa Daerah: Upaya Pelindungan Bahasa dari Kepunahan
Februari 23, 2022 2022-02-23 9:24Revitalisasi Bahasa Daerah: Upaya Pelindungan Bahasa dari Kepunahan
Jakarta, (Itjen Kemdikbudristek) – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) terus menghadirkan berbagai terobosan Merdeka Belajar. Pada episode ke 17 ini, Kemdikbudristek menghadirkan program Revitalisasi Bahasa Daerah yang menjadi salah satu prioritas Merdeka Belajar serta sebagai upaya melindungi dan melestarikan bahasa daerah sehingga generasi muda mau belajar dan menggunakan bahasa daerah.

“Hari ini kami meluncurkan Merdeka Belajar episode 17 yakni Revitalisasi Bahasa Daerah dan Merdeka Belajar ini kami lakukan bertepatan dengan hari Bahasa Ibu Internasional 21 Februari,” ujar Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam Peluncuran Merdeka Belajar eps 17: Revitalisasi Bahasa Daerah, Selasa (22/2).
Program ini merupakan upaya pelindungan terhadap bahasa dan sastra daerah agar tidak segera mengalami kepunahan. Menurut data yang dirilis oleh UNESCO, dalam kurun tiga puluh tahun terakhir sudah ada 200 bahasa daerah di dunia yang mengalami kepunahan. Sementara, kalau di Indonesia dari 718 bahasa, 25 di antaranya terancam punah, yang enam kritis dan 11 bahasa sudah dinyatakan punah.
Menteri Nadiem menyatakan bahwa itu termasuk angka yang sangat besar, ia tidak ingin bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Indonesia terus berkurang. Oleh karena itu, Kemdikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengadakan upaya revitalisasi.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan (BPP) Bahasa, Endang Aminudin Aziz mengatakan bahwa sebagai ikhtiar BPP Bahasa untuk menangani gejala kepunahan bahasa daerah, pihaknya menguji coba revitalisasi bahasa-bahasa daerah di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan pada tahun 2021. Menurut Endang, kepunahan bahasa diakibatkan oleh mereka yang menganggap berbicara bahasa daerah itu “tidak keren”.
“Kepunahan bahasa salah satunya dipengaruhi oleh sikap bahasa para penutur sejati. Ada yang mengira bahwa dengan berbahasa daerah, maka itu artinya sama dengan menunjukkan diri sebagai “orang kampungan,” tidak keren, dan tertinggal. Seperti inilah yang paling kuat menjadi penyebabnya, akibatnya para orangtua, remaja, dan anak-anak tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya sehingga akhirnya bahasa itu memasuki fase kritis lalu kemudian punah,” tutur Endang.
Menteri Nadiem menjelaskan program ini dihadirkan untuk meyakinkan masyarakat bahasa bukan sekadar kumpulan kata. Melainkan identitas bangsa.
“Kalau bahasa daerah kita punah itu artinya kita kehilangan identitas, kehilangan kebhinekaan, kita hilang bukan hanya sejarah tapi segala jenis kearifan lokal,” pungkasnya.