News and Blog

Merdeka Belajar Episode 25 Berpusat Pada Regulasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

WhatsApp Image 2023-08-08 at 12.56.24
Berita

Merdeka Belajar Episode 25 Berpusat Pada Regulasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim secara resmi meluncurkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP sebagai Merdeka Belajar Episode ke-25 pada Selasa, (08/08/2023).

(Jakarta, Itjen Kemendikbudristek) – Mempertimbangkan pengesahan payung hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, secara resmi meluncurkan Merdeka Belajar ke 25: Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).

Peraturan ini dibuat dengan tujuan yang jelas untuk mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis, sambil memberikan prioritas pada perspektif korban.

“Dalam upaya mencapai tujuan ini, dalam beberapa tahun terakhir, kami telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam merancang regulasi yang dapat mencegah dan menangani kekerasan di dalam lembaga pendidikan. Hari ini, kami bersama-sama meluncurkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan,” ujar Mendikbudristek saat peluncuran Episode 25 Merdeka Belajar di Plaza Insan Berprestasi, Kemendikbudristek, Jakarta, pada Selasa (08/08/2023).

Mendikbudristek menekankan bahwa Permendikbudristek PPKSP bertujuan melindungi siswa, pendidik, dan staf pendidikan dari kekerasan selama kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.

“Permendikbudristek PPKSP memainkan peran penting dalam memenuhi mandat undang-undang dan peraturan pemerintah yang bertujuan melindungi anak-anak. Peraturan ini juga menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan,” lanjut Menteri Nadiem.

Selain itu, Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan keraguan dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikologis, kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Kepastian ini mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dan memastikan tidak adanya kebijakan di dalam lembaga pendidikan yang berpotensi memicu kekerasan.

“Peraturan baru ini dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan yang berpotensi memicu kekerasan, baik dalam bentuk keputusan, surat edaran, catatan dinas, himbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain, dilarang,” tegas Nadiem.

Selain aspek-aspek tersebut, Permendikbudristek PPKSP menguraikan mekanisme pencegahan yang akan dilaksanakan oleh lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ini juga menetapkan pedoman pendekatan yang berpusat pada korban dalam penanganan kekerasan, dengan memberikan prioritas pada pemulihan mereka.

Satuan pendidikan juga diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), sementara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus membentuk Satuan Tugas (Satgas). TPPK dan Satgas harus dibentuk dalam waktu 6 hingga 12 bulan setelah peraturan diundangkan untuk memastikan penanganan yang cepat terhadap kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Jika ada laporan kekerasan, kedua tim ini harus menangani masalah tersebut dan memastikan pemulihan korban.

Hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022 menunjukkan, sekitar 34,51 persen siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, diikuti oleh 26,9 persen (1 dari 4) yang berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) menghadapi potensi perundungan.

Survei Nasional tentang Pengalaman Anak dan Remaja yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (SNPHAR, KPPPA) pada tahun 2021 mendukung hasil tersebut, di mana terdapat fakta bahwa 20 persen anak laki-laki dan 25,4 persen anak perempuan berusia 13 hingga 17 tahun mengakui pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan dalam 12 bulan terakhir.

Data pengaduan yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2022 mengenai kasus perlindungan anak khusus juga menunjukkan bahwa kategori tertinggi korban anak berkaitan dengan kejahatan seksual, termasuk kekerasan fisik dan/atau psikologis, serta kasus pornografi dan kejahatan siber, dengan total 2.133 kasus.