News and Blog

Kebudayaan Bersama antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura

WhatsApp-Image-2023-02-08-at-10.14.36-AM-768x513
Artikel

Kebudayaan Bersama antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura

Indonesia, Malaysia, dan Singapura adalah tiga negara di Asia Tenggara yang memiliki kebudayaan bersama (shared culture) yang sangat kaya dan beragam. Masing-masing negara memiliki keunikan dan perbedaan dalam kebudayaannya, tetapi mereka juga saling berbagi beberapa tradisi dan nilai-nilai yang sama.  Meskipun seringkali menjadi perdebatan mengenai siapa pemilik kebudayaan asli antar tiga negara, namun bisa dipahami kemiripan atau bahkan kesamaan masing-masing produk budaya terjadi karena wilayah geografis yang berdekatan, dan juga kesamaan etnis melayu yang mendiami hampir seluruh wilayah di tiga negara ini.

Sejarah juga mencatat interaksi tiga negara bahkan sejak saat masa kerajaan bercorak hindu-budha, dimulai dari luasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya yang mencakup hingga utara Malaysia dan Pulau Sumatera di Indonesia, saat Sang Nila Utama, Pangeran dari Palembang dan Kerajaan Sriwijaya menemukan Singapura, saat Parameswara Pangeran lain dari Palembang menjadi raja terakhir Singapura sebelum tergusur oleh serangan Majapahit dan mendirikan negara Melaka yang menjadi bagian dari Negara Malaysia kini, pedagang dan pelaut ulung dari Makassar yang berdagang hingga ke Singapura dan menjadi asal usul Bugis Street, dan banyaknya masyarakat keturunan Jawa serta Minang yang bermigrasi dan menjadi penduduk tetap baik di Malaysia maupun Singapura.

Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek saat memberi keterangan pers dalam ‘Pengusulan Kebaya sebagai Kebudayaan Bersama (shared culture) antara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunnei Darussalam, dan Thailand. (Foto: Kemendikbudristek).

Persamaan produk budaya dari tiga negara terlihat dari beberapa hal di bawah ini, antara lain:

Bahasa

Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting dalam tiga negara ini. Meskipun bahasa resmi mereka berbeda, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Malaysia, dan Bahasa Melayu di Singapura, tetapi mereka memiliki banyak kesamaan dalam kata-kata dan frasa yang digunakan. Bahasa Melayu, yang merupakan dasar bagi bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, memiliki sejarah dan etimologi yang sama, dan banyak kata-kata dalam bahasa ini juga digunakan di Singapura. Di Singapura, walau Bahasa Inggris dipakai secara luas di pemerintahan dan sekolah, nyatanya Bahasa Melayu adalah Bahasa resmi nasional dan juga Bahasa di lagu kebangsaannya.

Makanan

Persamaan kedua yang paling banyak kita jumpai pada ketiga negara adalah makanan. Ketiga negara memiliki ragam masakan yang sangat lezat. Beberapa kuliner yang sama-sama bisa kita jumpai (walau dengan berbeda nama) di ketiga negara antara lain Nasi Lemak di Malaysia dan Singapura, dan di Indonesia bisa kita jumpai makanan sejenis (nasi dimasak dengan santan dilengkapi lauk pauk, terutama telur rebus dan sambal teri kacang) seperti Nasi Uduk di Jakarta dan Nasi Gurih serta Nasi Gemuk di Sumatera. Ketiga negara juga sama-sama mengenal Rendang, Laksa (walau dengan versi yang sedikit berbeda), Mi Goreng, Nasi Goreng, Satay di Malaysia – Singapura dan Sate di Indonesia, Roti Prata di Singapura-Malaysia dan Roti Cane/Maryam di Indonesia, Nasi Kandar di Malaysia mirip dengan Nasi Padang di Indonesia.. Dari pasukan hidangan penutup, Indonesia mengenal luas cendol atau dawet, sebagaimana Malaysia dan Singapura mengenai ais cendol, Indonesia memiliki terang bulan atau martabak manis, serupa dengan apam balik dari Malaysia (di Singapura makanan ini juga dikenal sebagai Martabak), tak lupa Lapis Sarawak Malaysia yang mirip Lapis Surabaya dari Indonesia dan Ais Kacang di Malaysia-Singapura serupa Es Kacang dari Palembang. Makanan ini menjadi identitas kebudayaan masing-masing negara dan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang datang berkunjung.

Kerajinan Tangan dan Kesenian

Produk budaya lain yang seringkali sama atau mirip dari ketiga negara adalah kerajinan tangan dan kesenian. Baik di Indonesia, Malaysia, maupun Singapura, batik banyak tersebar dan dipakai luas. Beberapa kerajinan seperti wayang kulit dan angklung sempat masuk dalam promosi pariwisata Malaysia. Pertunjukan seni lain yang juga masuk dalam promosi mereka seperti tari pendet, tari piring, reog ponorogo, dan kuda lumping juga sempat dimasukkan dalam promosi pariwisata atau diakui sebagai bagian dari budaya Malaysia. Hal ini memang sempat memancing protes warga Indonesia, namun pemerintahan Malaysia berhasil meredamnya karena mengakui kebudayaan tersebut hadir melalui penduduk keturunan Indonesia, sehingga secara langsung mereka mengakui bahwa itu merupakan kebudayaan Indonesia.

Pakaian Adat

Beberapa pakaian adat Malaysia, Singapura, dan Indonesia memiliki kemiripan. Baju kurung secara luas dipakai perempuan melayu di Malaysia, Singapura, hingga Indonesia. Laki-laki memakai baju tradisional berupa baju koko, kain yang dipakai sepinggang, dan peci atau songkok di tiga negara. Kebaya, yang di Indonesia dikenal luas sebagai pakaian tradisional yang paling sering dipakai, juga ditemukan di dua negara lain. Saat ini bahkan kebaya telah didaftarkan ke UNESCO sebagai kebudayaan bersama (shared culture) antara 5 negara Asean, yaitu Singapura, Malaysia, Brunnei Darussalam, Thailand, dan Indonesia.

Nilai-nilai Dalam Masyarakat

Selain produk budaya kasat mata, ada juga persamaan dari ketiga negara, dilihat dari nilai-nilai yang dianut dan dijalankan dalam masyarakatnya. Nilai seperti gotong royong (kerja sama), adat sopan santun, dan penghormatan terhadap orang yang lebih tua (misalnya Singapura walau memakai Bahasa Inggris, namun memanggil Uncle dan Aunty kepada yang lebih tua), serta penghargaan terhadap  sesama masih dijunjung tinggi dalam masyarakat Malaysia.

Tidak Perlu Memperdebatkan, Kita Memang Memilikinya Bersama

Perdebatan dan perebutan pengakuan kebudayaan kerap terjadi dalam beberapa decade ini, terutama oleh Malaysia dan Singapura. Namun, harus diakui, banyak diantara penduduk memiliki nenek moyang yang sama, dan secara geografis ketiga negara saling berdekatan, tentu saja masuk akal bila interaksi di zaman dahulu menyebabkan banyaknya pertukaran budaya pula. Seharusnya hal ini tidak terjadi bila kita menyadari, kita sama-sama memiliki kebudayaan tersebut, dan sudah sepantasnya kita melestarikannya bersama.