News and Blog

Tenun Sasak: Keindahan Wastra Sebagai Jati Diri Masyarakat Pulau Lombok

Tenun
Artikel

Tenun Sasak: Keindahan Wastra Sebagai Jati Diri Masyarakat Pulau Lombok

Pembuatan tenun di Desa Bayan. (Tangkap layar: YouTube Budayasaya)

Seperti yang kita ketahui, Indonesia dianugerahi kekayaan budaya yang begitu beragam, salah satunya wastra Nusantara. Wastra merupakan Bahasa Sansekerta yang mempunyai arti sehelai kain. Kanal Youtube Budayasaya menampilkan dokumentari WASTRA episode kawasan Mandalika yang sudah bisa diakses sejak Rabu, (2/02).

WASTRA episode kawasan Mandalika menceritakan keberagaman budaya yang terdapat di wilayah Lombok. Lombok menjadi salah satu destinasi wisata super prioritas yang terkenal dimiliki Indonesia, dengan Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Selain memiliki keindahan alam yang memesona, Lombok juga dikenal sebagai negeri kaya budaya. Kain tenun adalah wujud wastra yang menjadi jati diri masyarakat Lombok.

Berbagai kebudayaan kerajaan yang datang dari Jawa dan Bali dengan corak Hindu dan Islam tidak hanya berandil besar dalam penyebaran agama di masa lalu, tetapi juga melahirkan akulturasi budaya yang memberikan pengaruh kuat bagi kehidupan tradisi di masyarakat.

Kain tenun sebagai salah satu wastra Indonesia dikenal sebagai kekayaan warisan budaya. Tidak hanya dapat dilihat dari pengerjaan, berbagai pola, dan jenis kainnya, tetapi kita dapat mengenali berbagai fungsi kain dalam kehidupan dan maknanya di masyarakat yang mencerminkan adat, budaya, dan tradisi. Keanekaragaman wastra muncul dari perbedaan geografis yang memengaruhi cara hidup masing-masing suku bangsa di Indonesia.

Seperti halnya tradisi wastra yang tersebar di Nusantara, tenun tidak hanya berfungsi sebagai pakaian semata. Terdapat berbagai makna, filosofi, dan kepercayaan terkait dengan tenun. Seperti di desa Bayan, Lombok Utara, memiliki berbagai jenis kain tenun dan banyak sekali kegunaannya, sama halnya dengan kain Ronong Abang yang digunakan pada saat ritual adat, ada juga kain Lipa digunakan untuk acara formal.

Adapun kain Jong yang diambil dari kata “junjungan” yang dipakai di atas kepala, biasa dikenakan saat acara formal ataupun upacara kematian. Kemudian, kain yang dipakai saat acara ritual adat seperti kain Lipa dipasangkan dengan kain Poleng, biasa digunakan untuk perempuan. Sedangkan, kain Ronong Abang dipasangkan dengan kain Rejasa. Setelah islam masuk dan berkembang, motif wujud makhluk hidup dalam tenun Bayan mulai dihindari atau disamarkan, digantikan dengan motif tumbuhan dan bunga sebagai motif dominan.

Alasan mengapa kain tenun masih dipertahankan khususnya di daerah Bayan karena masyarakat adat masih banyak menggunakan kain tenun sebagai pakaian mereka, walaupun zaman sekarang banyak menggunakan warna sintetis tetapi khusus untuk kain upacara adat menggunakan pewarna alami.

Kemudian, suku Sukarara di Lombok timur, memiliki ciri khas kain tenun yaitu keistimewaan pada motif yang dirancang langsung dari kepala para penenun. Selain orisinalitas pada kain tenun, suku Sukarara juga masih menggunakan pewarna alami untuk mewarnai benang-benang dasar tenun yang diambil dari kulit kayu mahoni, biji buah asam, daun sirih, dan juga kunyit.

Awal mula pembuatan benang di desa Sukarara yakni pada tahun 1755 karena banyaknya pohon kapas akhirnya dimanfaatkan menjadi sebuah benang secara alami. Suku Sukarara menjadi salah satu desa wisata unggulan karena keindahan dari warna warni kain tenunnya dan tumbuh menjadi sentra tenun terbesar di Lombok.

Terdapat juga Desa Pringgasela yang merupakan salah satu desa di Kabupaten Lombok Timur yang memiliki kurang lebih sekitar 420 orang penenun khususnya di Dusun Gubuk Daya. Para penenun ini mengembangkan tradisi tenun yang sering disebut Tenun Sesek secara turun-temurun, nama sesek diambil dari asal suara saat menenun “sek sek”.

Di beberapa desa yang adatnya masih dipertahankan, perempuan sudah terbiasa menggunakan kain tenun sebagai pakaian sehari-hari. Selain itu, beberapa tradisi dan upacara keagamaan juga menggunakan kain tradisional sebagai sarananya. Karena merupakan bagian dari adat itu sendiri, maka seni menenun telah diturunkan secara turun temurun dari suku Sasak sejak dini.